Tim Kunker Komisi VII DPR RI  saat meninjau jetty PLTU Teluk SIrih, Padang, Sumatera Barat. (Foto: Ran/Ray)

Padang(SUMBAR).WP- Ketua Komisi VII DPR RI Gus Irawan Pasaribu menilai, Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Teluk Sirih di Kecamatan Bungus Teluk Kabung, Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat merupakan salah satu PLTU terbaik yang ada di Indonesia. Dari hasil peninjauan yang dilakukannya bersama Tim Kunjungan Kerja Reses Komisi VII DPR RI, PLTU ini dikelola dengan baik.

“PLTU yang kita kunjungi ini adalah PLTU yang terbaik dan kita lihat memang cukup bagus. Kita ingin memastikan hal itu. Dari hasil kunjungan lapangan, kita confirm bahwa PLTU ini terkelola dengan baik. Mudah-mudahan bisa terus terjaga, dan oleh PLN akan terus di-upgrade,” kata Gus Irawan usai memimpin Tim Kunker Komisi VII DPR RI meninjau PLTU Teluk Sirih, Padang, Sumbar, Selasa (18/12/2018).

Legislator Partai Gerindra ini juga mendapat informasi, selama ini ada kendala ombak-ombak yang terlampau besar, sehingga kapal-kapal tongkang pembawa batu bara tidak bisa merapat ke dermaga atau jetty di PLTU Teluk Sirih. Akibatnya, menjadi sulit untuk menampung batu bara agar tidak terkena hujan. Padahal jika batu bara terkena air hujan, pemanfaatannya menjadi tidak maksimal.

Pembangunan PLTU Teluk Sirih menghabiskan dana Rp 2,3 triliun dan merupakan proyek PLTU teknologi China terbaik di Indonesia, dibanding produk China lainnya. Oleh karena itu, lanjut legislator dapil Sumatera Utara ini, Komisi VII DPR RI tertarik untuk melihat secara langsung PLTU Teluk Sirih. PLTU ini menjadi bagian dari proyek pembangunan pembangkit listrik nasional dengan target penyediaan total energi baru mencapai 10.000 MW.

Sementara itu, Anggota Komisi VII DPR RI Daryatmo Mardiyanto memberi catatan penting pada pemanfaatan limbah fly ash dan bottom ash (FABA) PLTU Teluk Sirih yang dapat dimanfaatkan 90 persen oleh PT. Semen Padang. Menurutnya, ini juga menjadi catatan di seluruh PLTU di Indonesia, terkait besaran pemanfaatan FABA oleh industri-industri lain.

“Kemudian, ini adalah PLTU yang menggunakan bahan baku batu bara low calorie, yang didatangkan cukup jauh. Batu bara low calorie ini dapat dimanfaatkan dengan baik dan sistem dapat berlangsung dengan baik,” apresiasi legislator PDI-Perjuangan ini.

Daryatmo juga melihat, PLTU Teluk Sirih ini termasuk dalam koneksi Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) dan menambah kapasitas terpasang, sehingga melebihi jumlah kapasitas rencana interkoneksi Sumatera yang segera terwujud. Harapannya, kelebihan-kelebihan kapasitas itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan daerah lainnya.

Dalam kesempatan ini, Daryatmo juga memberikan catatan mengenai data rasio elektrifikasi yang biasanya mengacu pada jumlah kepala keluarga (KK), namun kini mengacu pada rasio desa. Menurutnya, istilah baru ini harus diklarifikasi kepada Komisi VII DPR RI. Menurutnya, dengan menggunakan istilah rasio desa, jangan menjadi penonjolan lain dan menggeser rasio elektrifikasi yang selama inib berbasiskan kepada KK.

“55 juta KK yang kita peroleh dari data lama itu harus diperbarui dan harus di-update lagi dengan sebaik-baiknya, agar basis KK menjadi pendekatan untuk menghitung rasio elektrifikasi, baik di tingkat pusat maupun daerah khususnya di Pulau Mentawai, Sumatera Barat ini,” tandas legislator dapil Jawa Tengah itu.

PLTU Teluk Sirih milik PLN dengan kapasitas 2×112 megawatt ini menghasilkan limbah dari pembakaran batu bara berupa fly ash dan bottom ash (FABA) sekitar 50 ton sehari, yang merupakan bahan baku produksi semen. PLTU ini  menggunakan sistem kerja Circulating Fluidized Bed (CFB), sehingga batu bara tidak dibakar langsung untuk untuk menciptakan uap, namun dicampur dengan pasir silika serta kapur untuk menghantarkan panas.

PLTU Teluk Sirih membutuhkan batu bara mencapai 1,2 juta ton/tahun, dengan kalori 400 kcal/kg, serta membutuhkan silika mencapai 7 ton perjamnya. Pembangkit ini telah terkenoksi ke dalam sistem kelistikan Sumatera Bagian Selatan (Sumbagsel) untuk komersial sejak Februari 2014. 



# Eli | Parlementaria/ran/sf
 
Top