Padang.wp.com. Dengan kejadian Polisi tembak Polisi di Duren Tiga yang melibatkan oknum aparat kepolisian, dapat dijadikan moment bahwa sudah saatnya Polri berubah kearah yang lebih baik.
Sesuai dengan Tribrata dan Polri Presisi yang dicanangkan Kapolri, Seharunya Kapolda Sumbar seharusnya juga berbenah.

Menurut Ketua LSM KOAD, bahwa sudah puluhan kali disurati, namun Kapolda masih melakukan kesalahan yang sama.

Percaya kepada bawahan harus, tapi tanpa kontrol akan sangat merugikan Kapolda saat bawahannya tidak mampu menyelesaikan perkara yang sudah didisposisi kebawahannya.

Kita ambil contoh perkara Toko Bypass Teknik, Sudah puluhan surat dilayangkan namun solusi yang diberikan Polda Sumbar masih menunggu.

Malah wassisik Polda Sumbar membuat keputusan yang aneh. Sebagai contoh dengan mengadakan klarifikasi yang dikemas seperti gelar perkara. Yang hanya menhadirkan pelapor. tujuannya diduga hanya penyelamatan Polres dan Polsek yang terlanjur dilaporkan ke Divisi Propam Mabes Polri.

Bertransformasi menjadi Polri Presisi dengan mematuhi Tribrata, tentunya akan membuat nama Polri kembali berkibar.

Polri akan kembali dipercaya oleh masyarakat Indonesia.

Tapi jika semua unsur yang ada ditubuh Polri mulai penyidik, kanit, kasat, sampai ke unsur pimpinan Polri masih saja melakukan kamuflase terhadap kecurangan, kebohongan, pelanggaran etika profesi yang dilakukan unsur Polri, maka rasanya sulit untuk kembali meraih hati masyarakat yang terlanjur di kecewakan.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa mari kita lihat FERDY SAMBO dan loyalisnya.

Mereka berani berbohong berulang ulang demi menyelamatkan bosnya yang jelas jelas sudah mengakui perbuatannya.

Jika Polri masih berkutat dengan cara lama, tetap menghalangi masyarakat melaporkan pidana, tidak melakukan proses hukum bagi mereka yang tidak punya uang, maka kecil kemungkinan Polri bisa memperbaiki citra institusinya yang terlanjur sangat mengecewakan masyarakat. kata ketua LSM KOAD itu.

Polri harus menjauhi perbuatan yang tidak Responsif, tidak berkeadilan, tidak transparan, tidak prediktif dan yang terpenting, Polri jangan bermain-main dengan perkara yang dilaporkan masyarakat, kata ketua LSM KOAD.

Beberapa waktu lalu, Kapolda Sumbar berhasil melakukan pencitraan, namun dalam melakukan penegakan hukum, jika Masih ada oknum yang bermain pasti akan tercium oleh para pemerhati yang merindukan Institusi Polri kembali dibanggakan oleh masyarakatnya.

Pencitraan hanya akan membuat nama Intitusi Polda baik untuk sementara waktu.

Namun ketika masyarakat tidak mendapatkan pelayanan yang maksimal, bahkan terkesan dipermainkan, bahkan Polisi yang melanggar UU, Perkapolri dan KUHAP, masih dibiarkan justru akan membuat Institusi Polri menjadi cacat.

Kapolda Sumbar seharusnya, segera memperbaiki sistem kerja dikepolsian mulai dari cara menaggapi palaporan harus sesuai dengan UU.

Hal itu dimulai dari Polsek, Polres sampai ke Polda Sumbar.

Polri Jangan sekali kali menghalangi masyarakat melaporkan pidana. Kemana lagi masyarakat melapor jika bukan ke Polisi.

Hal ini perlu dilakukan agar nama baik pejabat Polri tidak tenggelam selamanya.

Apa yang selama ini diperbuat oleh Polri, ternyata masih belum mampu mengubah pencitraan negatif yang terlanjur trrpendam dalam hati masyarakat.

Karena itu terkait munculnya berbagai kritikan, Polri sudah seharusnya memperbaiki diri.

Idealnya munculnya berbagai kritikan terhadap Polri dijawab dengan perbaikan, bukan reaksi yang berlebihan.

MENGUBAH CITRA NEGATIF
Polisi profesional adalah adalah polisi yang lebih menekankan pendekatan pre-emtif dan preventif dibandingkan represif dalam penanganan Kamtibmas di suatu wilayah.

Pendekatan pre-emtif  merupakan upaya proaktif dan internaktif dalam rangka pembinaan, penataan dan pemanfaatan potensi masyarakat dalam upaya merebut simpati rakyat, sedangkan pendekatan preventif  merupakan upaya yang bersifat pencegahan dan pengeliminiran terhadap setiap bentuk-bentuk ancaman gangguan kamtibmas dengan memberikan pengayoman, perlindungan dan pelayanan kepada masyarakat.

Karena itu, prasyarat utama yang harus dipenuhi agar polisi profesional dapat terwujud adalah terciptanya hubungan fungsional yang baik dan serasi antara polisi dan masyarakat.

Namun hubungan ini akan terwujud apabila pencitraan masyarakat terhadap Polri positif, sehingga muncul sikap saling menghargai dan menghormati, serta saling mendukung dalam mewujudkan Kamtibmas yang kondusif.

Upaya Polri untuk mengubah citranya dari Polisi yang pada mulanya berkarakter militeristik sehingga dalam bertindak selalu menekankan pendekatan kekuasaan, menjadi Polisi yang dekat dengan masyarakat,  sudah lama digulirkan. Berbagai upaya telah dilakukan demi memperbaiki citra tersebut. Bahkan, untuk membuktikan komitmen tersebut, Kapolri Jenderal Sutanto pernah  menyatakan akan memeriksa dan memublikasikan kepada masyarakat setiap oknum polisi yang berperilaku negatif dan merugikan rakyat, sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi anggota Polri lainnya.  Komitmen ini semakin terbukti ketika Polri, sekalipun dengan berat hati, harus memeriksa beberapa mantan petinggi karena diduga terlibat dalam suatu tindak pidana, sebuah tindakan yang jarang terjadi di masa-masa lalu.

Namun demikian, tampaknya karakter-karakter anggota Polri yang arogan, ingin dilayani, brutal, berkompromi dengan hal-hal yang menyimpang,  tetap saja sukar untuk dihilangkan, terbukti dengan banyaknya kasus hukum yang menimpa aparat Polri. Pelanggaran demi pelanggaran silih berganti mengemuka. Jenis pelanggaran yang  dilakukan oleh oknum Polri pun tidak berubah. Dalam kondisi demikian, maka citra polisi pun semakin buruk di mata publik. Memang benar bahwa Polisi juga manusia, yang tidak luput dari kesalahan. Namun, masalahnya adalah apakah wajar apabila polisi akan selalu jatuh ke lubang yang sama? inilah pekerjaan rumah bagi semua insan bhayangkara dalam menemukan solusinya.

Harus diakui bersama, bahwa perubahan kultural  di tubuh Polri, salah satunya perubahan mental dan kepribadian anggota Polri,  merupakan hal yang paling sulit untuk dilakukan dibandingkan dengan perubahan struktural maupun instrumental. Mengubah struktur organisasi Polri atau mengubah pola pendidikan di lembaga pendidikan Polri agar lebih menonjolkan aspek pemahaman terhadap perlindungan HAM, tentunya relatif mudah dilakukan dibandingkan mengubah karakter anggota Polri agar menjadi Polisi sipil.

Kesukaran untuk mengubah karakter negatif  yang ada di diri anggota Polri memang bukan pekerjaan yang mudah untuk dilakukan mengingat karakter tersebut (militeristik) sudah tertanam dan berakar dalam jangka waktu lama, dampak dari kebijakan masa lalu,  sehingga mustahil apabila diubah dalam jangka waktu singkat.

Munculnya pencitraan negatif terhadap aparat Polri tentunya menimbulkan efek negatif, yang mana publik akan meragukan kemampuan polisi dalam menjalankan fungsinya sebagai pelindung dan pengayom masyarakat.  Harapan terwujudnya peningkatan kepercayaan masyarakat terhadap polisi seakan “jauh panggang dari api”, jauh dari kenyataan. Padadal, selama ini publik masih mengandalkan kekuatan polisi sebagai pilar utama dalam masalah keamanan dan ketertiban masyarakat.

Beberapa upaya memperbaiki citra polisi ditengah-tengah derasnya kritikan sudah banyak dilakukan, diantaranya secara konsisten tanpa diskriminasi, diterapkannya penjatuhan sanksi tegas kepada anggota Polri yang melakukan pelanggaran, sehingga diharapkan dapat menimbulkan efek jera.

Sanksi yang tegas pada aparat yang melakukan pelangggaran harus semakin banyak diupayakan, mengingat selama ini masyarakat memandang bahwa sanki yang dijatuhkan kepada aparat Polri seringkali lemah dan berhenti hanya pada penerapan sanksi disipliner sekalipun nyata-nyata oknum polisi tersebut melakukan kesalahan besar.

Upaya ini dilakukan untuk membuktikan bahwa polisi   juga tidak kebal hukum. Hukuman administrasi tidak lengkap tanpa ada pertanggungjawaban pidana. Karena itu, bagi polisi yang terindikasi kuat secara yuridis dalam pemeriksaan awal melakukan penyalahgunaan jabatan dan korupsi, kasusnya harus diserahkan ke pemeriksaan pidana. Lebih jauh, para polisi nakal tersebut seharusnya mendapatkan sanksi yang lebih berat dari para pelaku pidana biasa, karena mereka adalah penegak hukum yang seharusnya dapat menjadi contoh bagi masyarakat.

Hal yang tidak dapat diabaikan adalah perbaikan pola perekrutan terhadap calon anggota Polri. Bukan rahasia umum, apabila sejak masa perekrutan lalu lintas uang disinyalir sudah banyak berbicara dalam proses penentuan kelulusan bagi para pelamar, belum lagi pada saat penentuan jabatan (mutasi atau promosi).

Karena itu, perubahan metode, prosedur, dan proses pembinaan personal polisi harus jelas sehingga dapat menghasilkan polisi yang berkarakter profesional. Indikatornya, masyarakat akan merasakan kualitas perlindungan dan pengayoman yang diberikan oleh anggota Polri ketika  masyarakat membutuhkan pelayanan.

Hal lain yang perlu dibenahi adalah optimalisasi peran masyarakat dalam mendukung tugas-tugas kepolisian. Bagaimana polisi dapat mengoptimalkan masyarakat dalam melaksanakan tugas-tugasnya, mengingat musuh polisi sebenarnya merupakan musuh masyarakat. Untuk itu, kerja sama antara polisi dengan masyarakat untuk menumpas “musuh” bersama tersebut diharapkan dapat lebih optimal. Konsep perpolisian masyarakat sudah terbukti mampu meningkatkan citra polisi sekaligus menekan angka kejahatan, sejatinya harus terus dikembangkan.

Polisi harus mengedepankan pendekatan humanis dalam menangani setiap  persoalan Kamtibmas. Sikap angkuh dan anarkis yang sering ditampilkan dalam  menyelesaikan persoalan harus segera dihentikan. Sebagai gantinya, penyelesaian  persoalan Kamtibmas dengan pedoman menghargai hak asasi manusia (HAM) perlu  dikedepankan. Melalui cara demikian, otomatis kedekatan Polri dan masyarakat  dapat tercipta. Selanjutnya, citra Polri di mata publik pun akan dapat terwujud dengan sendirinya.

Sebagai sebuah institusi yang berperan dalam pengamanan dan keamanan masyarakat, Polisi Republik Indonesia (Polri) masih perlu terus dibenahi untuk menjadi polisi yang profesional. Untuk menjadi polisi yang profesional, agar citra positif dapat terbangun, harus dilakukan berbagai pembenahan. Pembenahan harus dilakukan secara internal disertai kontrol dari luar. Tidak hanya pemimpinnya yang harus baik, tapi juga peran serta pihak luar dalam melakukan pengawasan.

Membiarkan institusi Polri dihuni oleh polisi-polisi yang tidak memiliki karakter sipil jelas sangat berbahaya, karena dapat merusak citra institusi kepolisian, menurunkan tingkat kepercayaan masyarakat, dan mengoyak akuntabilitas kinerja aparat kepolisian itu sendiri. Oleh karena itu, pembenahan harus segera diwujudkan agar Polisi memperoleh citra positif dimata masyarakat sekaligus sahabat masyarakat. Bukankah, ibu kandung polisi adalah masyarakat itu sendiri?

 Perubahan Sosial Masyarakat
Perubahan sosial yang begitu cepat mengakibatkan proses modernisasi dirasakan sebagai suatu yang berpotensi dapat menimbulkan keresahan dan ketegangan sosial. Keresahan sosial dan ketegangan sosial dapat menimbulkan penyimpangan-penyimpangan terhadap atauran-aturan hukum yang telah disepakati dan telah ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.

Penyimpangan tersebut telah menyebabkan akibat negatif bagi negara ( pemerintah, dan masyarakat), maka untuk itu dalam rangka untuk mengembalikan dalam kondisi semula maka harus ada proses penegakan hukum. Penegakan hukum sebagai kegiatan menyerasikan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan mengejawantahkan dan tindak serangkaian penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.

 Faktor Mempengaruhi
Penegakan hukum merupakan suatu proses sosial, yang tdak bersifat tertutup tetapi bersifat terbuka dimana banyak faktor yang akan mempengaruhinya. Keberhasilan penegakan hukum akan sangat di pengaruhi oleh berbagai faktor, adapun faktor yang mempengaruhi penegakan hukum adalah Substansi hukum, hukum diciptakan oleh lembaga-lembaga yang berwenang, sebagai contoh UU dibuat oleh DPR, dalam menciptakan substansi atau isi hukum tersebut DPR sebagai lembaga yang diberi wewenang harus memperhatikan apakah isi UU itu betul-betul akan memberikan keadilan,kepastian hukum dan kemanfaatan bagi masyarakat atau justru di buatnya hukum akan semakin membuat ketidakadilan dan ketidakpastian dan malah merugikan masyarakat. Maka untuk itu substansi hukum sangat penting sekali.

Berharap mereka tidak hanya menjadi corong UU namun juga berfikir lebih luas dan mendalam. Selain itu, sarana dan prasarana, penegakan hukum membutuhkan sarana-prasarana seperti bagi polisi peralatan yang memadai dan tentunya bisa digunakan, apa jadinya jika dalam penegakan lalu lintas motor yang digunakan untuk patroli motor yang sudah usang, atau dalam penyusunan berkas masih menggunakan mesin ketik manual, sarana dan prasarana ini tentu berkaitan dengan anggaran, maka anggaran untuk penunjang benar-benar dimanfaatkan untuk itu.

 Budaya Hukum Masyarakat
Peran masyarakat sipil, seperti lembaga masyarakat adat, perlu didudukkan dalam undang-undang, apalagi pluralisme hukum merupakan suatu
keniscayaan di alam Indonesia. Oleh karena itu, untuk menuju ke arah negara demokrasi, perubahan undang-undang kepolisian perlu dilakukan dengan tidak bersifat vertikalistis dalam penegakan hukum dan ketertiban masyarakat.

 Selain itu, harus dihindari hegemoni kepolisian atas kelembagaan lain yang tersusun secara terselubung dalam teks-teks untuk kepentingan parsial dengan alasan demi kepentingan umum. Penegakan hukum bukanlah diruang hampa, penegakan hukum dilakukan di tengah-tengah masyarakat, maka untuk itu penegakan hukum tidak akan dapat berjalan dengan baik jika masyarakat tidak mendukung, partisipasi masyarakat sangat dibutuhkan, partisipasi itu dapat dilakukan dengan aktif untuk mematuhi hukum dan juga jika ada pelanggaran hukum dapat melaporkan kepada yang berwenang.

 Masyarakat juga harus aktif melakukan pengawasan terhadap penegak hukum agar tidak terjadi penyimpangan dalam penegakan hukum. Di dalam menjalankan fungsinya sebagai alat keamanan,terutama dalam menjalankan tugas pokoknya memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta menegakkan hukum, Polri tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun, termasuk oleh Presiden sebagai Kepala Pemerintahan. Hal ini akan bisa dicapai apabila kita mampu membangun Polri yang tangguh dan berwibawa. Polri yang tangguh dan berwibawa hanya akan terujud apabila didukung oleh organisasi yang mantap dan didukung oleh personil yang professional.

 “Upaya membangun Polri yang mandiri dan membentuk citra Polisi sebagai sahabat dan pelindung masyarakat, adalah tanggung jawab kita bersama, tetapi dalam pelaksanaannya sangat tergantung dengan kemauan politik Pemerintah.”

 Peneliti Populi Center Nurul Fatin Afifah mengungkapkan, setelah mengungkap rekayasa kasus pembunuhan Brigadir J, institusi Polri wajib berbenah diri. Kepercayaan publik harus diraih kembali agar segala kebijakan yang ditelurkan nantinya berjalan lancar.

“Kepercayaan publik adalah variabel penting dalam mewujudkan good governance dan menjadi modal sosial sebuah institusi dalam menjalankan tugas serta fungsinya,” ujar Nurul saat berbincang dengan JEO Kompas.com, Senin (8/8/2022).

Akar persoalan ketidakpercayaan publik terhadap Polri, menurut Nurul, tidak sebatas pada kasus pembunuhan Brigadir J saja, melainkan yang utama yakni kinerja dan relasi personel kepolisian dengan masyarakat.

Polri dinilai perlu meningkatkan kinerja melalui terobosan-terobosan dalam pelayanan publik. Inovasi dan perbaikan integritas diyakini Nurul akan menjawab ekspektasi masyarakat.

Hal senada juga diungkapkan pengamat kepolisian Bambang Rukminto. Menurut dia, penuntasan kasus pembunuhan Brigadir J tidak serta merta mengembalikan kepercayaan publik yang sebagaimana diuraikan sebelumnya sedang mengalami tren penurunan.

“Bila kasus itu dituntaskan dengan menyeret pelaku utama dan otak pembunuhan ke pengadilan, bisa jadi itu hanya akan menjadi obat pereda nyeri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat kepada Polri,” ujar Bambang.

Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyampaikan keterangan pers terkait penyidikan kasus penembakan Brigadir J di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (4/8/2022). Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo menyatakan melalui Tim Inspektorat Khusus (Irsus) telah melakukan pemeriksaan terhadap 25 personel polri terkait dugaan pelanggaran kode etik dalam perkara penembakan Brigadir J di rumah dinas Kadiv Propam

Masyarakat melihat problem di tubuh Polri bukan semata pada tingkah laku oknum, melainkan sistem yang belum bisa berdampak positif bagi kinerja, integritas, independensi, serta kultur personel.

Berkaca pada kasus pembunuhan Brigadir J, terbukti sistem yang ada di tubuh Polri tidak mampu mengantisipasi munculnya kelompok oknum yang merekayasa kasus. Bambang mengungkapkan, uraian yang disampaikan Kapolri menunjukkan bahwa kelompok ini mengakar secara sistemik, terstruktur dan masif.

Kapolri sampai harus menurunkan personel Brimob dalam setiap proses penyidikan kasus ini. Meski nyatanya kelompok oknum ini kalah, tetapi hal itu menunjukkan ada persoalan serius di tubuh Polri yang mesti dibenahi.

Oleh sebab itu, Bambang menilai, Kapolri harus konsisten memanfaatkan momen kasus ini untuk bersih-bersih di dalam institusi sekaligus mewujudkan sistem yang lebih baik.

“Kapolri harus konsisten menggunakan kasus ini sebagai momentum untuk membersihkan kelompok-kelompok yang sudah jelas-jelas mengusik rasa keadilan masyarakat dengan menyampaikan kejanggalan-kejanggalan yang dianggap sebagai upaya untuk menutupi kejahatan yang dilakukan personel kepolisian,” ujar Bambang.

“Tanpa ada konsistensi untuk membuktikan komitemen untuk membenahi internal secara transparan dan akuntabel, sepertinya masih berat bagi Polri untuk memulihkan kepercayaan masyarakat,” lanjut dia.

Bahkan, bisa jadi akan muncul trauma publik bila kelompok jahat di tubuh institusi ini tidak dibersihkan secara tuntas.

Saran saya sebagai Ketua LSM KOAD adalah:

Jika hal ini tidak dilakukan maka nama baik Polri makin lama makin sulit diperbaiki. (Tim)

 
Top